Kejaksaan Agung RI memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai kuasa negara dalam perkara perdata dan Tata Usaha Negara (TUN) melalui peran Jaksa Pengacara Negara (JPN). Sebagai JPN, Kejaksaan mewakili dan melindungi kepentingan hukum negara atau pemerintah dalam perkara-perkara perdata dan TUN, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Namun Kejaksaan dapat menolak untuk bertindak sebagai kuasa negara dalam perkara perdata dan Tata Usaha Negara (TUN) jika ada alasan yang jelas dan sah menurut hukum. Hal ini biasanya terjadi apabila permintaan kuasa yang diajukan kepada Kejaksaan bertentangan dengan prinsip atau peraturan hukum yang berlaku, atau jika terdapat konflik kepentingan.
Berikut adalah beberapa kondisi yang memungkinkan Kejaksaan menolak permintaan menjadi kuasa negara:
1. Benturan Kepentingan
Jika terdapat potensi benturan kepentingan yang menghambat obyektivitas atau integritas Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya, maka Kejaksaan dapat menolak permintaan tersebut. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penanganan Benturan Kepentingan di Lingkungan Kejaksaan RI. Misalnya, Kejaksaan tidak akan menangani perkara yang dapat menimbulkan konflik atau tidak sesuai dengan prinsip kepatutan.
2. Permintaan yang Tidak Sesuai dengan Kepentingan Umum atau Negara
Kejaksaan hanya akan bertindak sebagai kuasa negara dalam perkara perdata dan TUN jika tindakan tersebut sejalan dengan kepentingan umum atau negara. Jika permintaan bantuan hukum hanya bertujuan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu yang tidak terkait dengan kepentingan publik atau negara, Kejaksaan berhak menolaknya.
3. Tidak Adanya Dasar Hukum yang Memadai
Jika permintaan kuasa tidak didukung oleh dasar hukum yang jelas, misalnya dalam hal kewenangan atau keabsahan instansi yang meminta bantuan hukum, Kejaksaan dapat menolak untuk bertindak sebagai kuasa negara.
4. Pertimbangan Kapasitas dan Sumber Daya
Dalam beberapa kasus, Kejaksaan juga mempertimbangkan sumber daya yang tersedia, termasuk jumlah personel dan beban kerja, untuk memutuskan apakah dapat menerima kuasa dalam perkara tertentu. Jika Kejaksaan menilai bahwa kasus tersebut dapat menghambat tugas prioritas yang lain, mereka dapat menolak untuk menangani perkara tersebut.
5. Instruksi atau Kebijakan dari Jaksa Agung
Kejaksaan sebagai institusi hierarkis mengikuti kebijakan dan instruksi dari Jaksa Agung. Jika terdapat arahan untuk tidak menerima perkara tertentu yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan institusi atau dapat merusak kepentingan negara, Kejaksaan dapat menolak permintaan tersebut.
Jadi, dalam keadaan-keadaan tertentu yang sesuai dengan peraturan dan asas profesionalisme, Kejaksaan memiliki hak dan kewenangan untuk menolak permintaan bertindak sebagai kuasa negara dalam perkara perdata dan TUN.
Dasar Hukum dan Aturan Terkait
Dasar-dasar hukum yang mendukung kewenangan Kejaksaan dalam menolak permintaan sebagai kuasa negara antara lain:
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan perubahannya dalam UU Nomor 11 Tahun 2021.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penanganan Benturan Kepentingan di Lingkungan Kejaksaan RI.
Peraturan Jaksa Agung yang mengatur tata cara pelaksanaan tugas Jaksa Pengacara Negara dalam perkara perdata dan TUN.

