Pada umumnya, hukum Indonesia tidak berlaku surut (prinsip non-retroaktif), terutama dalam hukum pidana. Prinsip ini diatur secara tegas dalam beberapa peraturan, terutama dalam konstitusi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Prinsip non-retroaktif atau hukum yang tidak berlaku surut adalah asas dalam sistem hukum yang berarti bahwa suatu undang-undang atau aturan hukum baru tidak dapat diterapkan untuk peristiwa atau tindakan yang terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Prinsip ini memberikan kepastian hukum dan melindungi warga negara dari tindakan yang dianggap melanggar hukum di kemudian hari, meskipun pada saat dilakukannya tindakan tersebut belum ada aturan yang melarangnya.
Penjelasan Prinsip Non-Retroaktif
1. Kepastian Hukum: Dengan prinsip non-retroaktif, setiap orang dijamin haknya untuk mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya sesuai dengan aturan yang berlaku pada saat itu. Ini menciptakan kepastian hukum, di mana warga negara dapat menjalani kehidupan tanpa kekhawatiran akan dihukum secara tidak adil karena aturan yang baru diberlakukan.
2. Perlindungan Hak Asasi: Prinsip ini melindungi hak individu dengan mencegah penyalahgunaan hukum oleh pemerintah atau pihak berwenang. Dengan demikian, warga negara tidak akan menghadapi hukuman yang tiba-tiba diberlakukan atas tindakan yang sebelumnya tidak dianggap ilegal.
3. Keadilan dan Keamanan Hukum: Penerapan hukum yang berlaku surut dianggap melanggar asas keadilan, karena suatu tindakan yang sebelumnya dianggap sah menjadi ilegal setelah aturan baru diundangkan. Prinsip non-retroaktif memastikan bahwa setiap perubahan aturan hukum tidak menimbulkan ketidakpastian dan kegelisahan bagi warga negara.
Aturan Tentang Prinsip Non-Retroaktif di Indonesia
Di Indonesia, prinsip non-retroaktif ditegaskan dalam beberapa peraturan hukum, terutama terkait hukum pidana. Berikut adalah beberapa aturan yang mengatur prinsip ini:
1. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Pasal ini menjamin bahwa warga negara tidak dapat dihukum atas dasar undang-undang yang berlaku surut, khususnya dalam perkara pidana. Perlindungan ini juga menjamin hak asasi manusia dan kepastian hukum.
2. Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”
Aturan ini menegaskan bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika pada saat ia melakukan perbuatan tersebut, sudah ada ketentuan hukum yang melarang dan mengancam pidana atas perbuatan itu.
3. Pasal 58 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
“Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut, kecuali secara tegas ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.”
Meskipun umumnya peraturan tidak berlaku surut, ketentuan ini memberi pengecualian jika peraturan perundang-undangan secara tegas mengatur bahwa peraturan tersebut berlaku surut. Biasanya, aturan ini diterapkan dalam bidang yang tidak bersifat pidana, seperti aturan administratif atau pajak.
Contoh Penerapan Prinsip Non-Retroaktif
Misalnya, jika suatu undang-undang tentang larangan merokok di tempat umum baru diberlakukan pada tahun 2024, maka orang-orang yang merokok di tempat umum pada tahun-tahun sebelumnya tidak bisa dihukum berdasarkan undang-undang tersebut. Hanya orang-orang yang melanggar aturan setelah diberlakukannya undang-undang yang akan dihukum.
Pengecualian Prinsip Non-Retroaktif
Dalam hukum Indonesia, prinsip non-retroaktif lebih diutamakan dalam perkara pidana karena menyangkut hak-hak asasi manusia dan prinsip keadilan. Namun, untuk beberapa perkara, seperti kebijakan pajak atau aturan administratif, pemerintah dapat memberlakukan aturan secara surut jika aturan tersebut secara eksplisit menyatakannya.
1. Undang-Undang Perpajakan
Contoh: Jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pengampunan pajak (tax amnesty) yang berlaku surut untuk tahun-tahun pajak sebelumnya, wajib pajak bisa membayar pajak yang terhutang dari masa lalu dengan ketentuan dan tarif khusus yang lebih ringan.
Tujuan: Pengecualian ini bertujuan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan masa lalu tanpa dikenai sanksi pidana, sehingga bisa mendorong kepatuhan pajak.
2. Pengaturan Administrasi Pemerintahan atau Kebijakan Ekonomi
Contoh: Ketika ada perubahan aturan yang memperlonggar syarat untuk mendapatkan bantuan sosial atau subsidi, pemerintah bisa menerapkan peraturan tersebut secara surut agar penerima manfaat yang memenuhi syarat baru bisa tetap mendapatkan bantuan untuk periode sebelumnya.
Tujuan: Hal ini dilakukan untuk memastikan bantuan sosial diberikan dengan adil sesuai dengan kondisi terbaru dan mendukung kelompok rentan tanpa harus terhambat oleh aturan lama.
Prinsip hukum tidak berlaku surut adalah dasar penting dalam penegakan hukum yang adil, yang melindungi warga negara dari ketidakpastian dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan benar-benar adil.

