marlboro.biz.id - Beberapa aturan hukum di Indonesia mengatur tentang perlindungan saksi anak dan pembuktian keterangan yang diberikan oleh anak di bawah umur:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
Undang-Undang ini memberikan perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam proses peradilan, baik sebagai terdakwa, korban, maupun saksi.
Dalam hal anak menjadi saksi, aturan yang relevan antara lain:
*Pasal 64 SPPA mengatur bahwa saksi anak harus diperlakukan dengan cara yang tidak membahayakan atau menyakitkan secara fisik maupun psikologis.
*Pasal 65 SPPA juga menyebutkan bahwa anak yang menjadi saksi dapat memberikan keterangan melalui pendampingan dan pemeriksaan khusus, serta dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa untuk menghindari rasa takut atau tekanan pada anak.
2. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Mengadili Perkara Anak.
*PERMA ini mengatur prosedur untuk mengadili perkara anak, termasuk ketika anak menjadi saksi. Salah satu prinsipnya adalah memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan memastikan bahwa proses pemeriksaan saksi anak dilakukan dengan cara yang menghormati hak anak.
*Keterangan saksi anak harus dinilai dengan memperhatikan kemampuan anak untuk memahami pertanyaan dan menyampaikan jawabannya.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
*Dalam KUHAP, Pasal 187 menyebutkan bahwa kesaksian yang diberikan oleh seorang saksi, termasuk anak, harus diperiksa oleh hakim dengan mempertimbangkan kredibilitas saksi dan kecocokan keterangan yang diberikan dengan alat bukti lainnya.
*Pasal 188 KUHAP juga mengatur bahwa keterangan saksi akan diuji oleh hakim dalam proses pemeriksaan, yang mencakup faktor-faktor seperti kemampuan saksi (termasuk anak) untuk memberikan keterangan yang sah dan dapat dipercaya.
Perlindungan Terhadap Saksi Anak
Selain aturan pembuktian, hukum juga memberikan perlindungan khusus untuk saksi anak, antara lain:
1. Perlindungan Psikologis:
Anak yang menjadi saksi harus mendapatkan perlindungan psikologis untuk mencegah trauma lebih lanjut. Pemeriksaan dilakukan dengan cara yang tidak menimbulkan rasa takut, seperti pemeriksaan yang dilaksanakan oleh psikolog atau pendamping.
2. Pemeriksaan di Ruang Khusus:
Untuk mencegah anak berhadapan langsung dengan terdakwa, keterangan dapat diberikan melalui ruang khusus atau menggunakan media seperti video konferensi untuk melindungi anak dari tekanan atau trauma.
3. Penyampaian Melalui Orang Dewasa atau Pengacara:
Anak bisa didampingi oleh orang tua atau pengacara yang khusus membantu dalam memberikan penjelasan tentang proses hukum yang sedang berjalan.

