Bagaimana Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium de Auditu

marlboro.biz.id - Kesaksian testimonium de auditu (kesaksian berdasarkan apa yang didengar dari orang lain) memiliki posisi yang lemah dalam sistem pembuktian hukum, baik dalam perkara pidana maupun perdata. Karena saksi tidak memberikan keterangan berdasarkan pengalaman langsung (melihat, mendengar, atau mengalami sendiri), kesaksian ini dianggap tidak cukup kuat untuk membuktikan suatu fakta dalam persidangan.


Dalam banyak sistem hukum, kesaksian semacam ini biasanya dianggap sebagai hearsay (keterangan tidak langsung) dan sering kali memiliki nilai probatif yang rendah atau tidak dapat diterima sebagai bukti, kecuali dalam situasi tertentu yang diatur oleh undang-undang atau aturan pembuktian. Hal ini disebabkan karena kesaksian de auditu dianggap kurang dapat diandalkan dibandingkan dengan kesaksian langsung.


Aspek Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu
1. Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Kesaksian testimonium de auditu tidak dapat berdiri sendiri sebagai bukti yang sah dalam suatu perkara. Dalam hukum acara pidana di Indonesia, Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa kesaksian yang sah sebagai alat bukti adalah yang diberikan berdasarkan pengalaman langsung saksi (melihat, mendengar, atau mengalami sendiri), bukan yang didengar dari orang lain.

2. Kekuatan Pembuktian yang Terbatas
Pasal 185 ayat (5) KUHAP menyatakan bahwa kesaksian yang hanya didasarkan pada apa yang didengar dari pihak ketiga (testimonium de auditu) memiliki nilai pembuktian yang lemah. Oleh karena itu, meskipun kesaksian ini dapat dipertimbangkan, hakim tidak bisa hanya mengandalkan kesaksian ini untuk membuat keputusan yang menentukan.

3. Harus Didukung Alat Bukti Lain
Kesaksian testimonium de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti yang mendukung, tetapi harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain yang lebih kuat. Dalam Pasal 183 KUHAP, disebutkan bahwa hakim hanya dapat menjatuhkan vonis jika terdapat dua alat bukti yang sah yang saling mendukung.

4. Kesaksian yang Tidak Dapat Divalidasi Langsung
Salah satu kelemahan utama dari kesaksian testimonium de auditu adalah kesulitan untuk memverifikasi kebenaran dari informasi yang diterima saksi dari orang lain. Oleh karena itu, informasi yang didapat secara tidak langsung sering kali dianggap kurang dapat dipertanggungjawabkan dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh saksi yang menyaksikan peristiwa secara langsung.

Contoh Penerapan di Pengadilan
1. Perkara Pidana:
Dalam kasus pencurian, seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain bahwa terdakwa melakukan pencurian tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembuktian. Misalnya, saksi yang mengatakan, "Saya mendengar dari teman saya bahwa terdakwa mencuri sepeda motor," tidak dapat dijadikan bukti utama tanpa adanya bukti lain yang lebih mendukung, seperti keterangan saksi yang melihat langsung kejadian atau bukti fisik lainnya.

2. Perkara Perdata:
Dalam perkara perdata, misalnya sengketa kontrak, jika seorang saksi mengatakan, "Saya mendengar bahwa pihak tergugat melanggar kontrak," maka kesaksian ini hanya dapat dianggap sebagai keterangan tambahan. Bukti yang lebih kuat, seperti dokumen kontrak atau saksi yang mengetahui langsung isi dan pelaksanaan kontrak, akan lebih bernilai dalam mempengaruhi keputusan hakim.


Pertimbangan Hakim Terhadap Kesaksian Testimonium de Auditu
Meskipun Pasal 185 ayat (5) KUHAP menyatakan bahwa kesaksian yang didasarkan pada apa yang didengar orang lain memiliki pembuktian yang lemah, hakim masih dapat mempertimbangkan keterangan tersebut dengan catatan:


1. Konsistensi dengan Bukti Lain: Jika keterangan saksi yang didengar dari orang lain sesuai dengan alat bukti lain (misalnya, dokumen atau bukti fisik), maka bisa memperkuat keterangan tersebut.

2. Keberadaan Saksi Lain yang Membantu: Jika ada saksi lain yang memberikan keterangan yang lebih kuat dan mendukung keterangan saksi tersebut, maka keterangan testimonium de auditu bisa mendapatkan nilai lebih.


Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa kesaksian testimonium de auditu memiliki kekuatan pembuktian yang terbatas dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun bisa digunakan sebagai bukti pendukung, kesaksian ini tidak cukup kuat untuk menjadi dasar utama dalam pembuktian suatu perkara. Oleh karena itu, kesaksian ini harus didukung dengan bukti-bukti lain yang lebih kuat dan kredibel agar dapat mempengaruhi keputusan hakim secara signifikan.


Tags