Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan beragam.
Berikut beberapa penyebab utama dari berbagai informasi yang beredar di masyarakat meliputi:
1. Ketidakadilan dalam Penegakan Hukum
Penjelasan:
Masyarakat sering melihat adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum, di mana hukum tidak diterapkan secara merata dan adil bagi semua orang. Ada persepsi bahwa hukum tajam ke bawah (menindak rakyat kecil) tetapi tumpul ke atas (tidak menindak penguasa atau elite).
Contoh:
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau orang berkuasa yang tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.
Aturan yang Mendukung:
Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945: Semua warga negara di Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sama dan adil di hadapan hukum.
2. Korupsi dalam Aparat Penegak Hukum
Penjelasan:
Tindakan korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum merusak integritas dan kredibilitas lembaga hukum. Masyarakat merasa bahwa hukum hanya dapat dibeli dan tidak berlaku adil.
Contoh:
Praktik suap dalam penegakan hukum atau ketidaktransparanan dalam sistem peradilan yang memperburuk citra aparat penegak hukum.
Aturan yang Mendukung:
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Memiliki mandat untuk memberantas korupsi di semua sektor, termasuk sektor penegakan hukum.
Pasal 5 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi: Menegaskan bahwa pejabat negara dan aparat hukum wajib bebas dari tindakan korupsi.
3. Tidak Tegasnya Penegakan Hukum
Penjelasan:
Ketidakmampuan atau ketidakadilan aparat penegak hukum dalam menindak pelanggaran hukum secara tegas dapat menurunkan kepercayaan masyarakat. Masyarakat melihat adanya perlakuan yang berbeda-beda dalam kasus-kasus serupa.
Contoh:
Kasus yang melibatkan pelanggaran hukum besar, seperti korupsi, yang tidak berakhir dengan hukuman yang adil atau transparan.
Aturan yang Mendukung:
Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945: Semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana: Mengatur proses peradilan pidana yang menjamin agar setiap pelanggaran hukum ditindak dengan tegas dan transparan.
4. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
Penjelasan:
Kurangnya transparansi dalam proses hukum dan penegakan hukum, seperti tidak adanya informasi yang jelas mengenai penyelidikan atau penuntutan, dapat membuat masyarakat merasa bahwa aparat hukum tidak terbuka atau tidak bertanggung jawab.
Contoh:
Informasi yang tidak jelas mengenai penyelidikan kasus korupsi atau tidak adanya laporan yang dapat diakses oleh publik.
Aturan yang Mendukung:
Pasal 28F UUD 1945: Menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi yang benar dan bebas dari manipulasi informasi.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: Menyediakan dasar hukum untuk memastikan bahwa informasi tentang penegakan hukum dapat diakses oleh publik.
5. Sanksi yang Tidak Proporsional atau Terlalu Ringan
Penjelasan:
Masyarakat melihat hukuman yang dijatuhkan sebagai tidak sebanding dengan pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi yang terlalu ringan atau tidak memberikan efek jera menimbulkan persepsi bahwa hukum hanya bersifat simbolis dan tidak efektif.
Contoh:
Kasus korupsi besar yang hanya dihukum dengan denda atau hukuman penjara yang relatif singkat.
6. Tindakan Diskriminatif atau Pilih Kasih
Penjelasan:
Tindakan diskriminatif atau pilih kasih dalam proses hukum, seperti perlakuan berbeda antara kelompok kaya dan miskin atau antara penguasa dan rakyat kecil, menimbulkan rasa tidak adil di mata masyarakat.
Contoh:
Kasus yang melibatkan individu dari kalangan elite yang mendapatkan perlakuan yang lebih ringan dibandingkan individu dari kalangan biasa.
Aturan yang Mendukung:
Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945: Setiap orang berhak atas perlindungan dari diskriminasi ras, etnis, agama, dan sebagainya.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Mengatur hak untuk mendapatkan perlindungan dari diskriminasi di hadapan hukum.
7. Lambannya Proses Hukum
Penjelasan:
Proses hukum yang lamban dan berlarut-larut membuat masyarakat merasa bahwa hukum tidak berpihak pada kepentingan publik. Masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan pada efektivitas hukum yang lamban dalam memberikan keadilan.
Contoh:
Proses penyelidikan atau persidangan yang memakan waktu bertahun-tahun tanpa hasil yang jelas.
Aturan yang Mendukung:
Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Menekankan bahwa proses peradilan harus efisien, transparan, dan cepat.
8. Kurangnya Pendidikan Hukum dan Pemahaman Masyarakat
Penjelasan:
Ketidaktahuan masyarakat mengenai hak-hak mereka dan prosedur hukum dapat menyebabkan persepsi yang keliru bahwa hukum tidak bekerja dengan adil. Kurangnya pendidikan hukum juga mempermudah munculnya rumor dan berita palsu mengenai aparat penegak hukum.
Contoh:
Informasi yang salah atau bias mengenai suatu kasus hukum yang tidak dipahami oleh masyarakat.
Aturan yang Mendukung:
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia: Menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi anggota polisi untuk meningkatkan profesionalisme.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: Mewajibkan lembaga penegak hukum untuk memberikan pelatihan serta pembinaan kepada aparatur dan membuka akses informasi yang transparan.
9. Pengaruh Media dan Informasi yang Menyesatkan
Penjelasan:
Media sosial dan pemberitaan yang sering menampilkan kasus-kasus hukum yang kontroversial, tidak adil, atau lambat dalam penyelesaian dapat memperburuk citra aparat penegak hukum. Berita yang menyesatkan atau tidak berimbang dapat meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat.
Contoh:
Berita mengenai kasus korupsi yang berlarut-larut tanpa kejelasan hukum yang tegas.
10. Kurangnya Pengawasan dan Akuntabilitas Institusi Hukum
Penjelasan:
Kurangnya pengawasan internal dan eksternal terhadap institusi hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan, membuat kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan yang merusak kredibilitas hukum menjadi lebih tinggi.
Contoh:
Tidak adanya lembaga atau badan independen yang memantau atau menindak penyalahgunaan kekuasaan aparat hukum.
11. Ketidakterbukaan dan Pemiskinan Akses Informasi Publik
Penjelasan:
Kurangnya keterbukaan dan pemiskinan akses informasi publik membuat masyarakat sulit untuk mengetahui atau memantau perkembangan kasus hukum atau kebijakan yang diambil oleh aparat penegak hukum.
Contoh:
Informasi mengenai penyelidikan atau hasil penuntutan yang tidak tersedia untuk publik.
12. Ketiadaan Sanksi Tegas bagi Pelanggar Hukum yang Terkenal atau Berkuasa
Penjelasan:
Ketika pelanggar hukum dari kalangan elite atau terkenal tidak dikenakan sanksi yang tegas dan adil, masyarakat melihat bahwa hukum tidak bekerja dengan adil. Ini memperburuk citra penegakan hukum di mata publik.
Contoh:
Kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi atau pengusaha besar yang tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum merupakan fenomena yang multifaktor, yang dipengaruhi oleh ketidakadilan, korupsi, ketidaktransparanan, serta lambannya proses hukum. Penting bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh, termasuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan integritas untuk memulihkan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.

